Ketentuan tentang Daerah Istimewa diatur dalam Pasal 18 B ayat 1
UUD NRI Tahun 1945, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-undang.”
Namun demikian, UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan satuan pemerintahan daerah yang bersifat
istimewa. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
juga tidak ditemukan apa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah yang
bersifat istimewa.
Selain itu, UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 juga
tidak menjelaskan indikator yang menjadi acuan sebuah daerah menjadi
Daerah Istimewa. Keduanya juga tidak menjelaskan pada level pemerintahan
apa sebuah daerah bisa menyandang Daerah Istimewa.
Karena itu, untuk
memahami apa yang dimaksud Daerah Istimewa dalam pasal tersebut, mesti
menggunakan pendekatan sejarah.
Sejarah menjelaskan bahwa Daerah Istimewa merupakan daerah yang
asal mulanya berbentuk kerajaan/kesultanan (Daerah Swapraja). Daerah
Swapraja adalah daerah otonom dalam lingkungan susunan pemerintahan
Hindia Belanda.
Ketika itu, pengaturannya melalui kontrak politik dengan penguasa
kerajaan/kesultanan, sebagaimana diatur dalam zelfbestuurregelen 1938. Pada
masa Hindia Belanda disebut sebagai zelfbestuur landschappen. Sementara,
pada masa pemerintahan pendudukan Jepang disebut sebagai Kooti. Semua
istilah tersebut maknanya sama dengan Daerah Istimewa.
Pada saat pengesahan UUD NRI Tahun 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus
1945, Soepomo memberikan penjelasan tentang maksud ketentuan Pasal 18
UUD NRI Tahun 1945. Ia menyatakan, “Dan adanya daerah-daerah istimewa
diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan
dihormati susunannya yang asli. Akan tetapi, itu keadaanya sebagai daerah,
bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya
daerah Zelfbesturende Landschappen, itu bukan negara, sebab hanya ada satu
negara. Jadi, Zelfbesturende Landschappen hanyalah daerah saja, tetapi daerah
istimewa, yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi, daerah-daerah istimewa itu
suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai
susunan asli.”
Kemudian, secara bertahap melalui proses diskusi yang panjang, para
pemimpin Daerah Swapraja tersebut dengan besar hati bergabung dengan
Negara Republik Indonesia dalam bingkai negara kesatuan. Salah satu di
antaranya adalah Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak Sri Inderapura.
Pada 28 November 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirimkan pernyataan
pendek kesetiaan Kesultanan Siak Sri Inderapura kepada pemerintah Republik
Indonesia dan menyerahkan harta kekayaan kesultanan untuk perjuangan
senilai ± f. 13.000.000 (tiga belas juta gulden).
Kedudukan Daerah Istimewa dalam UUD NRI Tahun 1945, diatur dalam
Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Pembagian daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan daripada sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa status Daerah Istimewa,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 B ayat 1, bersifat dinamis. Artinya,
pada dasarnya tidak ada larangan dalam UUD NRI Tahun 1945 jika pemerintah
bersama-sama DPR menyetujui pembentukan Daerah Istimewa yang baru.
Selain itu, satuan pemerintahan
daerah untuk Daerah Istimewa
tidak dibatasi hanya pada lingkup
daerah provinsi, tetapi dapat dibentuk dalam lingkup kabupaten/
kota, dan bahkan desa. Sampai
saat ini, wilayah yang menyandang
status Daerah Istimewa hanya
ada dua, yaitu Provinsi Daerah
Istimewa Nangro Aceh Darussalam
berdasarkan UU Nomor 18 Tahun
2001 dan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta berdasarkan UU Nomor
13 Tahun 2012.